Monday, April 16, 2007

Elit Bandung Barat, Segera Bentuk dan Laksanakan Konsep Pembangunan Bandung Barat !!!

Sejak disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat, belum terlihat sosialisasi dilakukan secara meluas terhadap warga Bandung Barat sendiri. Yang banyak muncul justru hanya ucapan-ucapan selamat dari para "politikus" atas pembentukan Kabupaten Bandung Barat tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran penulis akan esensi sebenarnya pengusulan pembentukan Bandung Barat hanya merupakan modus sekelompok orang untuk memperoleh lahan kekuasaan baru. Bukan hanya para aktivis partai politik asal Bandung Barat yang mulai bersiap menerkam kursi-kursi kekuasaan baru, tetapi diduga akan muncul eksodus Politisi di luar Bandung Barat yang akan "kembali" ke Bandung Barat untuk mengejar posisi mulai dari Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Legislatif.
Lalu sampai sejauh mana para aktivis pengusul Bandung Barat, Politisasi Parpol Bandung Barat, dan Birokrat Penjabat Bandung Barat telah melakukan upaya-upaya konkrit dalam rangka sosialisasi dan tindak lanjut pengesahan Undang-undang tersebut? Penulis menilai, hingga saat ini wacana yang berkembang tidak lebih dari upaya-upaya untuk mempersiapkan Visi dan Misi yang akan digunakan mereka untuk menempati jabatan-jabatan kekuasaan di Bandung Barat. Seharusnya mereka lebih mengedepankan terbangunnya sebuah Konsep Pembangunan Bandung Barat. Dengan demikian, pembentukan Bandung Barat memang akan menjadi sebuah batu loncatan peningkatan kesejahteraan material dan spiritual masyarakatnya melalui pelaksanaan Konsep Pembangunan berkelanjutan, berwawasan, dan mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat Bandung Barat.
Dalam kondisi seperti ini, sudah terlihat jelas sebetulnya kaum elit politik dan birokrat yang bergentayangan di Bandung Barat ini tidak memiliki kesiapan untuk menindaklanjuti pembentukan Bandung Barat. Salah satu indikasinya adalah dengan belum dipastikannya letak Ibukota Bandung Barat yang menurut rumor akan bertempat di Ngamprah. Saya masih ingat ketika usia saya masih 6-7 tahun saat mengikuti ayah saya -yang saat itu menjadi anggota DPRD Kabupaten Bandung- harus bolak-balik naik Skuter dari Lembang (tempat tinggal saya) ke Baleendah dengan jarak yang jauh dan kondisi jalan yang buruk. Pada saat itu sering terngiang ucapan ayah saya, bahwa rencana pengembangan Baleendah adalah kesalahan besar karena Pemda Kabupaten Bandung tidak pernah membuat perencanaan matang untuk pembangunan sebuah Ibukota. Beberapa tahun kemudian ucapan ayah saya bisa terbukti, karena pada akhirnya Ibukota Kabupaten Bandung bertempat di Soreang.
Dari perbandingan tentang perencanaan Baleendah dahulu kala dan Ngamprah untuk Ibukota Bandung Barat saat ini, saya menduga bahwa pada akhirnya perencanaan itu akan mengalami hambatan dan bahkan bukan tidak mungkin gagal mencapai sasaran. Saya tidak mempermasalahkan harus di mana letak sebuah Ibukota, tetapi yang paling penting adalah lahirnya sebuah perencanaan yang memang realistis untuk diwujudkan. Sulitnya daya jangkau masyarakat Kabupaten Bandung ke Soreang jangan terulang dalam kondisi Bandung Barat yang kurang lebih sama. Wilayah Bandung Barat masih terhitung sangat luas dan tersebar tidak merata, sehingga menurut saya seharusnya wilayah itu kembali dimekarkan menjadi 2 Kabupaten lagi (Barat dan Utara). Atau setidaknya setiap wilayah didorong untuk menjadi kota-kota mandiri yang Sistem Ekonomi dan Pelayanan Masyarakatnya tidak terpusat di Ibukota Kabupaten Bandung Barat.
Wilayah Bandung Barat yang kompleks ciri dan permasalahannya, seharusnya segera disikapi dengan sebuah Konsep Pembangunan Elementer namun tetap Integral dalam satu kesatuan. Elementer yang saya maksud artinya Konsep tersebut menempatkan sistem dan cara terpisah bagi daerah-daerah berbeda. Secara garis besar wilayah Bandung Barat terdiri atas daerah Konservasi Lingkungan Hidup dan/atau Daerah Pariwisata, Daerah Pertanian/perkebunan/ peternakan, Daerah Semi dan Ultra Industri, dan Daerah Pemusatan Perumahan. Kompleksitas seperti ini memerlukan sebuah manajemen administrasi dan pengelolaan yang bertaraf sangat tinggi. Artinya, bukan hanya diperlukan sebuah Konsep Pembangunan yang bertaraf tinggi, tetapi harus dijalankan pula oleh seorang manajer yang berkualitas tinggi. Di sinilah saya menilai ada permasalahan, di mana para "pengejar kekuasaan tersebut" tidak ada satupun yang dinilai memenuhi syarat sebagai seorang manajer Kabupaten Bandung Barat. Yang ada hanyalah segelintir anggota legislatif yang tidak komunikatif dan aspiratif, penjabat birokrat yang bahkan tak bisa membenahi lingkungan sekitar rumahnya, mantan terpidana yang masih suka bersikap kasar, dan lebih memprihatinkan adalah munculnya kaum preman aktif yang mengaku siap mewakili rakyat untuk membangun Bandung Barat.
Dalam kondisi inilah sebetulnya diharapkan Pemda Jawa Barat mampu menjadi creator dan motivator Pembentukan sebuah Konsep Pembangunan Bandung Barat. Menjadi creator dalam arti Pemda Jabar mampu membentuk sebuah Tim Konseptor Lintas Keilmuan, Lintas Komponen, dan Lintas Profesi yang diharapkan mampu melahirkan sebuah Garis Besar Haluan Pembangunan Bandung Barat (maaf jika agak terinspirasi konsep Orde Baru) yang terbagi dalam konsep pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Peranan Pemda Jabar ini sangat perlu bukan karena fungsi KBU yang sebagian berada di Bandung Barat, tetapi mengingat efek-efek dan sinergitas pembangunan di wilayah Jawa Barat (bahkan Pulau Jawa) terkait erat dengan Pembangunan di Bandung Barat. Hal itu setidaknya dari fungsi Bandung Barat (khususnya KBU) yang tidak hanya menjadi konservasi bagi lingkungan hidup Bandung Raya tetapi juga menjadi salah satu "sumber oksigen" wilayah Pulau Jawa.

Dalam konteks ini, saya selaku penulis menyarankan beberapa pointers yang dapat diakomodir dalam Konsep Pembangunan Bandung Barat tersebut, antara lain:
  1. Pengembangan Sistem Pendidikan berbasis Interkoneksi Teknologi Informasi, dalam rangka menembus permasalahan keluasan dan penyebaran penduduk yang tidak merata di Bandung Barat.
  2. Pengembangan Sistem Interkoneksi Teknologi Informasi dalam Pelayanan Pemerintah terhadap Masyarakat. Walaupun agak sedikit mengurangi jumlah aparat dan nilai investasi awal yang agak mahal, namun ke depannya akan sangat menghemat biaya anggaran serta bermanfaat besar bagi penyusunan data dan layanan sosial terhadap masyarakat Bandung Barat.
  3. Pengembangan Sistem dan Administrasi Transportasi wilayah Bandung Barat yang lebih bersifat massal dan anti-KKN. Bidang ini menjadi hal yang sangat penting karena penulis menilai bahwa Institusi Dinas Perhubungan khususnya di bidang Transportasi merupakan salah satu institusi tersubur praktek KKN, yang akibatnya bisa terlihat dari kesemrawutan Ijin Trayek dan situasi lalu lintas jalan. Dalam hal penyediaan prasarana transportasi, setidaknya pengelolaan dan pembangunan jalan menjadi prioritas bebas KKN agar beban anggaran tidak membengkak namun tetap menjamin kualitas jalan.
  4. Pembentukan institusi kewedanaan dan kecamatan baru hendaknya diikuti pula dengan adanya desentralisasi pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan setiap kantor kewedanaan/kecamatan menjadi "Kantor Layanan Satu Atap" yang di dalamnya terdapat Kantor Catatan Sipil, Pajak dan Retribusi Daerah\Pusat, Dinas Kimpraswil/Pekerjaan Umum, Kebersihan, dan sebagainya. Di lain atap, keberadaan Kepolisian Sektor (Polsek) juga diharapkan satu atap dengan Dinas Pendapatan Daerah dalam melayani pengurusan STNK/PKB dan Surat Ijin Mengemudi.
  5. Ciri dan kompleksitas wilayah-wilayah bagian Bandung Barat yang berbeda, hendaknya dikelola dalam sistem manajemen yang sesuai dengan kekhasannya masing-masing. Misalnya untuk wilayah KBU ditunjuk pelaksana manajemen yang mampu mengelolanya menjadi daerah Konservasi Alam, Pariwisata, dan Pertanian namun secara konsisten mampu meningkatkan perekonomian dan pendapatan masyarakat.
  6. Peningkatan sarana pendidikan yang murah namun berkualitas. Secara intensifikasi, Konsep Pengembangan Pendidikan berbasis Moral, Teknologi, dan Pembinaan Budaya dapat dilakukan dengan kembali menghidupkan kegiatan-kegiatan yang mampu mendorong kreativitas siswa (misalnya : Pekan Olah Raga dan Seni Antar Pelajar, Lomba-lomba Ilmiah dan Bidang Studi, serta Kegiatan Peningkatan Moral Keagamaan dan Nasionalisme). Secara ekstensifikasi, pembangunan sarana dan prasarana pendidikan (bangunan sekolah dan isinya) mau tidak mau menjadi prioritas dalam Konsep Pembangunan Bandung Barat mengingat di wilayah ini masih banyak daerah yang jumlah sekolah SD hingga SLTA tidak memenuhi rasio dan kebutuhan masyarakatnya. Selanjutnya perlu juga diakomodasi untuk membangun sebuah Perguruan Tinggi Negeri di wilayah Bandung Barat yang proyeknya menjadi sharing Pemda Bandung Barat, Jawa Barat, dan Pemerintah Pusat. Apabila di Soreang sudah ada Stadion Jalak Harupat, maka di Bandung Barat harus ada UNTISTA (Universitas Otto Iskandar Dinata) sebagai penghormatan kepada Pahlawan Nasional yang menjadi salah satu pelopor Pergerakan Nasional tersebut.
Saya pada akhirnya hanya menghimbau agar para Elit Politik di tingkat Pusat hingga ke daerah dan dengan partisipasi masyarakat secara integral untuk segera membuat sebuah Konsep Pembangunan Bandung Barat, dan melaksanakannya dalam kerangka jangka panjang maupun jangka pendek.

Pilkada DKI Jakarta dan Sikap Masyarakat Jawa Barat Terhadap Konsep Megapolitan

Warga Jawa Barat yang terhormat,

Sepanjang tahun 2006 dan awal 2007, wacana Megapolitan Jakarta (yang meliputi Jabodetabek Plus Cianjur) sempat menimbulkan pro dan kontra di Jakarta maupun di Jawa Barat. Wacana itu makin memanas menyusul musibah Banjir Besar di Jakarta Tahun 2007 ini. Ada semacam desakan bersifat Politis yang menginginkan agar Konsep Megapolitan ini sesegera mungkin diwujudkan. Namun dalam lingkup di lapangan, Pemerintah DKI Jakarta (dalam hal ini Gubernur Sutiyoso) dan Pemerintah Jawa Barat (via Gubernur Danny Setiawan) dan Banten (Gubernur Ratu Atut Chossiyah) belum mengadakan pembicaraan resmi untuk mengejawantahkan pemikiran tersebut ke dalam sebuah konsep yang nyata? Apakah ini hanya sebuah "political move" Bang Yos (baca: Sutiyoso)yang santer dikabarkan ingin menjadi Calon Presiden Pemilu 2009 ? Atau sebetulnya merupakan buah pemikiran seorang Bang Foke (baca: Fauzi Bowo) -Wakil Gubernur DKI Jakarta saat ini yang nota bene seorang berlatar belakang pendidikan Tata Kota (from Braunschweig Tech University, Germany) dan malang melintang di Pemda DKI selama lebih dari 30 tahun ?

Bagi masyarakat Jawa Barat -secara langsung maupun tidak langsung- pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta Tahun 2007 ini tentunya menjadi suatu momen yang menarik untuk dicermati, khususnya bagi masyarakat Bogor, Depok. Bekasi, Cianjur, dan bahkan hingga ke Bandung. Dilihat dari kemungkinan dan political move yang sedang berkembang saat ini, masyarakat Jawa Barat (termasuk Kalangan Eksekutif dan Legislatif) perlu segera bersikap dan bergerak untuk menanggapi wacana tersebut, tentunya dengan sikap yang ilmiah dan tidak emosional. Apalagi jika memang Bang Yos mampu menjadi seorang Presiden pasca-Pemilu 2009 dan Bang Foke terpilih sebagai Gubernur pasca-Pilkada 2007, bukan tidak mungkin hal itu segera menjadi sebuah kenyataan.

Secara formal Pemerintah atau Rakyat Jawa Barat memang tidak memiliki hak dan kewajiban terhadap pelaksanaan Pilkada 2007. Meskipun para kandidat lain -yang memiliki kans dicalonkan- adalah orang-orang berdarah Sunda (Sarwono, Agum, dan Adang) namun hal itu tidak harus membuat masyarakat Jawa Barat harus emosional mendukung mereka, karena memang tak ada hak dan kewajiban formal atas hal tersebut. Masyarakat Jawa Barat harus lebih memikirkan Konsep Pembangunan Megapolitan sebagai Konsep Pembangunan yang memang menguntungkan bagi segala lapisan masyarakat. Suka tidak suka, sebetulnya tahap-tahap megapolitan telah berjalan secara fisik (antara lain dengan dibangunnya Tol Cipularang, Fly Over Depok-Lenteng Agung, dan sebagainya). Namun dalam tatanan hukum, konsep-konsep tersebut belum dinyatakan sebagai satu kesatuan yang mendapat pengesahan tingkat Undang-undang.

Masyarakat Jawa Barat selain harus bersikap tidak emosional terhadap Pilkada DKI Jakarta, juga harus mampu bersikap ilmiah terhadapnya terutama dalam kaitan Konsep Megapolitan tersebut. Artinya, jika Konsep Megapolitan yang ditawarkan Bang Yos (dan disinyalir merupakan sumbangan pemikiran Bang Foke) itu merupakan hal yang bersifat integral dan telah melalui sebuah studi terencana, maka masyarakat Jawa Barat harus segera berdialog secara internal dengan seluruh lapisan rakyat Jawa Barat dan eksternal dengan Pemda DKI Jakarta (pra-Pilkada maupun pasca-Pilkada). Diharapkan dengan dialog tersebut, segera terbangun sebuah konsep pembangunan yang memang terencana secara integral bagi penduduk di dalamnya bahkan untuk pembangunan Indonesia pada umumnya.

Di lain pihak, perlu pula dicermati visi dan misi para kandidat lainnya (Sarwono, Agum, dan Adang) apakah mereka memang memiliki konsep terkait pembangunan integral kawasan Jakarta-Banten-Jawa Barat tersebut. Apalagi jika memang mereka menyadari dirinya sebagai orang Sunda -tanpa harus bersikap chauvinist-, harusnya ada sikap dan pemikiran yang memang mengarah pada terlaksananya konsep tersebut (yang sekarang lebih dikenal sebagai Konsep Megapolitan). Ketiga Putra Sunda ini jangan justru memanfaatkan momentum Kesundaan hanya sebagai ajang untuk mencari dukungan pemilih (karena kabarnya; jumlah etnis Sunda ber-KTP Jakarta termasuk dalam kalangan mayoritas).

Dalam kaitan dengan konsep Megapolitan , saya hanya mengusulkan kepada Para Calon Kepala Daerah DKI Jakarta, Pemda dan Masyarakat Jabar-Banten, maupun Eksekutif dan Legislatif Pusat untuk segera menyusun daftar prioritas pembangunan Kawasan Jabar-Banten-Jakarta ini dengan tetap memperhatikan hal-hal sebagai berikut sebagai Landasan dan Tujuan Pembangunan;


  1. Pengembangan Perekonomian Rakyat yang mengarah pada Peningkatan Upah Buruh dan Pekerja Sektor Informal (termasuk Petani);
  2. Peningkatan Kualitas Pendidikan Masyarakat dengan menyediakan Pendidikan yang murah, kolektif, dan luas akses secara nasional maupun internasional;
  3. Pelestarian dan pengembangan Sumber-sumber Daya Lingkungan Hidup;
  4. Peningkatan akses Teknologi Informasi melalui pembangunan di bidang Teknologi Informasi, Komunikasi, Pers, dan Sistem Penyiaran Nasional.
  5. Pengembangan Investasi yang lebih memberikan akses bagi Industri Menengah ke Bawah untuk berperan serta dalam pengembangan IPTEK kelas menengah dan tinggi, tanpa harus mengurangi peranan Industri Kelas Atas yang saat ini telah sehat sebagai sumber pendukung perekonomian.
  6. Kerjasama Wilayah (Antar Pemda maupun dengan Pemerintah Pusat), yang salahsatunya dapat ditindaklanjuti dengan penunjukan seorang Menteri Khusus yang bertanggung jawab membina kerjasama di kawasan ini.
  7. Membangun Peran Serta masyarakat secara kerakyatan (melalui proses musyawarah untuk mufakat, berkeadilan sosial, dan berperikemanusiaan) dalam pembangunan Kawasan ini.
  8. Menjadikan Pembangunan Kawasan ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Kawasan Ekonomi Berikat Indonesia dan ASEAN.
  9. Menjamin pembangunan berlanjut secara teknis dan legal, antara lain dengan melahirkan Undang-undang yang memberi kewajiban bagi Pemerintah untuk mempertahankan dan melanjutkan tongkat estafet pembangunan Megapolitan tersebut.
  10. Tidak melakukan upaya untuk perubahan batas wilayah administratif yang dapat memancing perpecahan. Wilayah Administratif Jakarta, Banten, dan Jawa Barat tetap dipertahankan karena toh masih ada dalam satu kesatuan yang juga menjadi tanggung jawab Pemerintah Republik Indonesia.

Harapan-harapan penulis hanyalah sebuah pemikiran yang mungkin telah banyak dipikirkan dan berkembang lebih konseptual, namun mudah-mudahan menjadi sebuah momentum pengingat terutama bagi Masyarakat Jakarta-Jabar-Banten dalam menyikapi Pilkada DKI Jakarta maupun dalam mengembangkan konsep Megapolitan.

Hiduplah Indonesia Raya !!!

Status Perkumpulan Tidak Berbadan Hukum dan Radio Komunitas

Berkaitan dengan Surat Edaran Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atas Dasar Hukum Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) Pasal 1653-1665 dan Staatsblad Tahun 1870 Tahun 64, bahwa Perkumpulan atau "Maatschap" untuk memperoleh Legal Standing sebagai Subjek Hukum Indonesia maka Perkumpulan atau "Maatschap" tersebut harus memperoleh Status Badan Hukum. Status Badan Hukum untuk Perkumpulan atau "Maatschap" atau tersebut hanya dapat dilakukan melalui pendaftaran ke dan pengesahan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham)

Khusus dalam kaitan dengan Radio Komunitas, maka KPI c.q. KPID Jawa Barat harus segera menindaklanjuti hal tersebut untuk mencegah terjadinya permasalahan Legal Standing Radio Komunitas sebagai Subyek Hukum Indonesia. Karena saya hampir tidak menemukan dokumen yang menunjukkan perkumpulan atau "Maatschap" atau mereka telah memperoleh Pengesahan dari Depkumham RI. Dokumen yang biasanya diberikan oleh Pemohon Ijin Radio Komunitas hanya menyertakan Akta Notaris saja, artinya jika hanya ada Akte Notaris maka Perkumpulan "Maatschap" atau tersebut bukanlah Subjek Hukum karena belum memiliki status sebagai Badan Hukum.

Akibat Hukumnya :
Seluruh Perjanjian yang mereka buat (dengan Badan Hukum Perorangan maupun Lembaga) Dapat Dibatalkan Secara Hukum termasuk dalam kaitan Permohonan IPP Penyiaran yang mereka ajukan.
Sebagai Perkumpulan "Maatschap" atau yang Tidak Berbadan Hukum, maka mereka tidak memiliki Legal Standing di dalamSistem Hukum Indonesia. Contoh-contoh akibatnya antara lain : Tidak memiliki hak untuk melakukan Gugatan Perdata dan/atau digugat Secara Perdata oleh Badan Hukum lainnya, Tidak dapat dikenai Sanksi Pidana dan/atau Tidak Memiliki Hak-hak dan Kewajiban Hukum Pidana, serta tidak diakui sebagai sebagai Subyek Hukum Administrasi Negara.
Bahwa Undang-undang Penyiaran yang secara Konstitusi telah memberikan pengakuan kedudukan hukum Perkumpulan (dalam hal ini Komunitas) tidak memberikan Penjelasan mengenai Status Badan Hukum tersebut (lihat Pasal 4 ayat 1 huruf b UU Penyiaran), oleh karena itu Radio Komunitas yang menggunakan status Perkumpulan dan hanya memiliki Akta Notaris mengenai Pendirian Radio Komunitas tetap harus mendaftarkan diri dan mendapat pengesahan dari Depkumham RI.
Setiap Perbuatan dan/atau Tindakan Hukum yang telah dilakukan oleh Perkumpulan Tidak Berbadan Hukum akan dikembalikan kepada perorangan-perorangan, tetapi dalam hal Pemberian Ijin Radio Komunitas tidak dapat diserahkan kepada Perorangan. Oleh karena itu Pemberian IPP Komunitas kepada Perkumpulan, Dapat Dibatalkan Secara Hukum apabila diajukan Gugatan Tata Usaha Negara.
Legal Standing Radio Komunitas Tidak Berbadan Hukum dalam perkara Perdata dan/atau Pidana dapat dinyatakan Batal Demi Hukum.
Bahwa sepanjang pengetahuan saya, banyak Notaris yang tidak memahami atau mengetahui bahwa dalam Pendirian Perkumpulan status Badan Hukum harus didaftarkan ke dan disahkan Depkumham RI. Bahkan banyak yang memahami bahwa status Perkumpulan hanya cukup melalui Akta Notaris dan/atau Syarat Badan Hukumnya lebih mudah dari CV (yang harus didaftarkan di Dinas Perdagangan) dan/atau bahkan berpandangan Perkumpulan bisa pula dilakukan dengan Akta Di Bawah Tangan.

Bahwa Pesan Pasal 4 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang mensyaratkan Perkumpulan memiliki Badan Hukum, secara jelas harus dicermati oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk lebih memperhatikan apakah Para Pemohon IPP Radio Komunitas telah memiliki Pengesahan Sebagai Badan Hukum, agar pengesahan mereka sebagai Lembaga Penyiaran Komunitas telah sesuai dengan Sistem Hukum Positif Indonesia. Hal ini juga perlu segera ditindaklanjuti agar seluruh Proses Perijinan yang telah dilakukan KPI/D tidak kembali ke awal dan/atau tidak memiliki kekuatan hukum.

Referensi situs terkait :

http://www.depkumham.go.id/NR/rdonlyres/2865C55A-435D-4687-94AA-4D3C427DD8BB/0/PERMOHONANPERKUMPULAN.html

Referensi Kasus-kasus HukumTerkait :
Permohonan Pengesahan Perkumpulan Muhammadiyah sebagai Badan Hukum dalam rangka Pendirian Badan-badan Usaha Milik Muhammadiyah
Kasus Judicial Review UU Penyiaran Terhadap UUD 1945 oleh Sekelompok Orang yang menyatakan dirinya Masyarakat Penyiaran Indonesia (ATVSI, IJTI, dkk.) di mana Mahkamah Konstitusi menyatakan Kelompok tersebut tidak memiliki Legal Standing, walaupun kemudian orang-orangnya diakui memiliki Legal Standing dan berhak meminta Judicial Review.

Lihat hal lain tentang:

1. Perkumpulan Tanggung-menanggung a.k.a Perkumpulan Berbadan Hukum
2. Perkumpulan pada umumnya "Maatschap"
3. Yayasan "Bagustap"
4. Indonesian Laws of Foundations (English) at http://www.usig.org/countryinfo/indonesia.asp